"Aku Menulis Maka Aku Ada"

Senin, 14 Februari 2011

SAAT GURU MENENTANG KOORPORATISME ORDE BARU

-Gerakan Federasi Guru Indpenden Indonesia (FGII)
Masa Reformasi 1999-2005-

Oleh: Jaja Jalaludin MH, S.Pd



ABSTRAK

Riset ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana latar belakang berdirinya Organisasi Guru Independen, yakni Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan perjuangannya terhadap kepentingan pendidikan nasional Indonesia.

Dari hasil riset, didapatkan bahwa dalam periode 1999-2005, tuntutan reformasi pendidikan mengemuka. Guru-guru melakukan aksi demonstrasi menuntut hak-haknya. Untuk itu mereka membentuk organisasi-organisasi independen di setiap daerah seperti Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) di Jakarta, Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Bandung, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Forum Guru Garut, Forum Guru Banyumas, dan lain-lain. Didorong keinginan untuk mendirikan organisasi independen yang berbasis nasional, maka pada akhirnya organisasi-organisasi ini bergabung membentuk FGII.

Perjuangan Federasi Guru Independen Indonesia telah mampu melakukan gerakan untuk mempengaruhi kebijakan sistem pendidikan nasional. Kelahiran FGII menjadi alternatif atas ketidakpuasan para guru terhadap PGRI dan pressure group dalam kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah. Mereka bergerak memperjuangkan nasib pendidikan, melakukan advokasi terhadap guru-guru, memperjuangkan kebebasan guru untuk berserikat, kesejahteraan guru, peningkatan profesionalisme dan kepentingan pendidikan nasional pada umumnya.


PENDAHULUAN

Reformasi politik tahun 1998 berimbas pada bidang pendidikan. Aspirasi-aspirasi mengenai pentingnya reformasi di bidang pendidikan mulai banyak digaungkan. Prof. Dr. Mochtar Buchori berkali-kali menyerukan pentingnya otonomi guru dengan tujuan agar guru lebih profesional dan independen. Guru terus bergerak, tidak lagi menjadi profesi termarjinalkan baik secara sosial ekonomi dan politik. Bahkan perubahan bukan hanya pada otonomi guru, tetapi sampai pada tingkat institusinya.
Tidak bisa dipungkiri, selama pemerintahan Orde Baru, sistem pendidikan hanya mampu menciptakan guru yang bergerak menurut petunjuk. Guru dikondisikan untuk patuh terhadap larangan yang tidak membenarkan untuk berserikat karena saat itu hanya ada organisasi tunggal untuk guru yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan mengemukakan pendapat secara demokratis. Pemerintah menggunakan istilah “profesi” sebagai jerat untuk melumpuhkan kekuatan guru sebagai serikat pekerja. Ruang gerak guru dibatasi. Guru kehilangan keberanian. Tegasnya, guru selama Orde Baru dan sampai sekarang adalah kelompok profesi yang tertekan.

Kondisi seperti itu diciptakan melalui politik pendidikan yang dikehendaki penguasa. Sistem pendidikan diatur secara sentralisasi dan birokratis. Pengaturan elemen-elemen dalam pendidikan seperti kurikulum, guru, anggaran pendidikan, pengawas pendidikan dan lain sebagainya ditentukan pemerintah. Selain itu, Orde Baru menerapkan kebijakan korporatis yang mengkooptasi masyarakat yang hampir terjadi di seluruh wilayah kehidupan sehari-hari.

Semua elemen masyarakat yang bertentangan dengan pemerintah dibungkam agar tidak mengganggu kepentingan Orde Baru. Hal ini dilakukan untuk mencapai Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Ahli ekonomi sebagai perumus kebijakan, angkatan bersenjata sebagai pengawal stabilitas, dan birokrat sebagai pelaksana.

Orde Baru mematikan semua aktivitas dan organisasi otonom masyarakat sipil yang merupakan ciri demokrasi. Watak korporatis dan kelompok korporatis ini menjadikan kekuasaan rezim Orde Baru sebagai sebuah totalitas, dan lembaga seperti Golkar, adalah unit yang dalam kesatuan utuh sebuah mesin penggilas demokrasi.
Selain itu, watak kelompok korporatis ini bercirikan unit konstituennya terbatas, wadah tunggal karena memonopoli kepentingan tertentu, mewajibkan keanggotaan, diatur secara hirarkis dan direstui, bahkan diciptakan sendiri untuk dapat dikendalikan. Singkatnya, cara korporatis ini adalah kontrol yang dipaksakan atau kooptasi untuk mempertahankan kepentingan pemerintah. Kelompok korporatis seolah-olah mewakili suara masyarakat, padahal perpanjangan tangan rezim untuk memaksakan kepentinganya kepada masyarakat.

Kondisi seperti itu menyebabkan tertekannya warga negara yang majemuk, tidak leluasa berserikat atau berkumpul secara merdeka, beragam dan independen. Salah satu yang terpenting adalah pengakuan atas hak-hak guru khususnya untuk menumbuhkembangkan organisasi guru yang kritis dan progresif kurang mendapat porsi.

Ketika reformasi 1998 bergulir, terbukalah ruang demokratisasi. Ini merupakan kesempatan guru untuk melakukan gerakan yang selama ini vakum. Guru-guru itu mengorganisasikan diri, bergerak memperjuangkan nasib pendidikan yang semakin terpuruk, menentang dan meluruskan pemerintah yang memelihara dan menjaga keterpurukan itu. Penjinakkan dan pengendalian hampir semua pergerakan dan organisasi yang berbasiskan masyarakat langsung, termasuk organisasi guru ternyata justru menghasilkan kesempatan bagi serikat/organisasi yang independen di Indonesia untuk berkembang. Represitas terhadap guru akhirnya menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan.

Muncul organisasi-organisasi guru independen di berbagai daerah. Di Jakarta, sejak tahun 1999 beberapa guru membentuk Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), di Garut berdiri Forum Guru Garut, Di Banyumas, Forum Guru Banyumas, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) di Lampung, Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Bandung, dan lainnya.

Pada suatu kesempatan dalam pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk guru di Jakarta, organiasi-organisasi guru itu bertemu. Memanfaatkan waktu senggang, dilakukan pertemuan-pertemuan sekelompok guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun swasta untuk berjuang meningkatkan harkat, martabat guru, serta memperbaiki pendidikan nasional. Hasilnya, pada 17 Januari 2002 perwakilan dari organisasi guru di sejumlah daerah berkumpul di Jakarta. Tugu Proklamasi menjadi saksi deklarasi Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).

FGII adalah kumpulan dari beberapa organisasi guru independen di beberapa daerah di Indonesia. Jakarta Teachers Club (JTC), Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Jawa Barat, Forum Guru Garut (FOGGAR) Garut, Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Interaki Guru Banyumas (FIGURMAS), Fokus Guru Malang, Persatuan Guru Mahardika Indonesia (PGMI) Lombok dan Bali, Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Sumbar, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Perhimpunan Guru Tidak Tetap Indonesia (PGTTI) Kediri, Aliansi Guru Nasional Indonesia (AGNI), dan organsisasi guru lainnya yang bersifat independen dan terbuka.

KERANGKA TEORITIS dan PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Riset Ini menggunakan kerangka Teori Korporatisme , watak kelompok korporatis ini bercirikan unit konstituennya terbatas, wadah tunggal karena memonopoli kepentingan tertentu, mewajibkan keanggotaan, diatur secara hirarkis dan direstui, bahkan diciptakan sendiri untuk dapat dikendalikan. Singkatnya, cara korporatis ini adalah kontrol yang dipaksakan atau kooptasi untuk mempertahankan kepentingan pemerintah. Kelompok korporatis seolah-olah mewakili suara masyarakat, padahal perpanjangan tangan rezim untuk memaksakan kepentinganya kepada masyarakat.
Gaya kooptasi kelembagaan ini diberlakukan terhadap birokrasi Orde Baru sejak 1970. Untuk mengontrol pegawai negeri, misalnya diberlakukan lewat kebijakan monoloyalitas. Untuk kalangan pegawai negeri hanya boleh berdiri Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), sebagai satu-satunya organisasi kepegawaian. Untuk guru hanya ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Keduanya sebagai alat kontrol dan mobilisasi untuk mendukung partai Golkar.

Dalam konsepsi Michel Foucault kekuasaan dalam pendidikan tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tapi melalui normalisasi dan regulasi. Dalam pemerintahan Orde Baru, normalisasi ini dilakukan dengan pengaturan-pengaturan organisasi masyarakat secara legal formal. Foucault mengatakan pula bahwa setiap kekuasaan akan melahirkan anti-kekuasaan. Kekuasaan yang bekerja dalam negara, misalnya, cenderung akan melahirkan perlawanan dari pihak lainnya. Hal ini tercermin dalam kehadiran FGII sebagai bentuk perlawanan terhadap organisasi guru yang selama pemerintahan Orde Baru memobilisasi guru, PGRI.

METODE RISET

Metode riset yang digunakan adalah metode Historis dengan hasil penyajian berupa deskriptif analisis. Untuk memenuhi kriteria tersebut dilakukan pengumpulan data, kritik intern maupun ekstern terhadap sumber, penafsiran fakta atau interpretasi dan terakhir penulisan hasil penelitian atau historiografi. Sumber yang digunakan adalah arsip, dokumen, artikel dan buku-buku yang relevan dengan penelitian, serta melakukan wawancara.


ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A.Politik Pendidikan Orde Baru
1. Sentralistik
Selama pemerintahan Orde Baru, kebijakan pendidikan di Indonesia cenderung didominasi oleh keputusan dari atas ke bawah (top down). Kecenderungan kepada pendekatan manajeman yang sentralistik menurut beberapa ahli berakar pada faktor-faktor sejarah dan budaya yang menghambat pengembangan kewiraswastaan serta sumber pengembangan kelembagaan serta pengelolaan.

Menurut peneliti, pendekatan sentralistik ini mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mengembangkan kehidupan nasionalisme, justru pada kelompok umur yang secara umur sangat peka terhadap pembentukan kepribadian. Dalam jenjang pendidikan inilah dapat diletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi ketahanan nasional dan kepribadian nasional, apresiasi budaya nasional dan daerah, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air sebagai negara kesatuan. Mempunyai organisasi yang kuat tetapi kaku. Kondisi seperti ini dapat dipahami bahwa keadaan di awal-awal kemerdekaan, pendidikan merupakan sarana pengobaran semangat nasionalisme.
Manajeman sentralisasi tidak dapat dipisahkan dari ideologi-ideologi yang mendasarinya. Politik dan sistem pendidikan yang diciptakan merupakan alat bagi reproduksi sosial untuk melestarikan sistem sosial ekonomi dan politik yang mendukungnya. Dengan demikian, peneliti menilai bahwa kesepakatan politik telah memberikan kepada rezim yang berkuasa untuk lebih jauh mengontrol lembaga dan materi pendidikan yang ada dalam masyarakat.

Tujuan politik yang hendak dicapai dari konsep pendidikan dan pelaksanaan konsep sentralistik itu adalah bahwa sistem pendidikan dapat menjadi alat seleksi, kontrol dan sosialisasi nilai, pengetahuan dan keterampilan yang efektif dan masif agar tercapai legitimasi kekuasaaan dan mobilisasi tenaga kerja. Dalam proses ini, pemerintah melalui konsep pendidikan yang integralistik menyeleksi, mengembangkan dan mengontrol nilai-nilai moral/kebudayaan dan kompetensi praktis sehingga menyatukan heterogenitas subsistem sosial-budaya (pendidikan) agar dapat dimobilisasi. Akibatnya, sistem pendidikan yang tunggal berdiri di atas subkultur pendidikan bangsa yang plural.

2 Birokratis
Birokrasi sipil di Indonesia menurut versi pemerintah adalah pegawai negeri dari pejabat eselon I atau jabatan struktural sampai jabatan fungsional yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Rekruitmennya lewat seleksi dan proses pengangkatan. Fungsi pegawai negeri adalah menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik dan penerapan kebijakan pemerintah. Pendekatan birokrasi inilah yang paling efektif menjalankan roda lembaga pendidikan.

Dalam pandangan Max Weber, birokrasi atau aparat administrasi ini merupakan unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Organisasi ini merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, perhatian Weber tertuju pada struktur yang diatur secara normatif dan mekanisme untuk mempertahankan struktur itu
Pada zaman pemerintahan Soeharto berkembang istilah jajaran birokrasi sebagai abdi negara. Abdi negara ini kemudian terhimpun dalam suatu wadah yang diberi nama KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia), yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia. Tujuannya untuk menyatupadukan unsur aparatur negara agar dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, di lingkungan militer berlangsung juga program kekaryaan ABRI. Dalam kekaryaan ini, personil ABRI masuk atau dimasukkan, ditunjuk dan diangkat menjadi pejabat yang memimpin posisi kunci di jajaran pemerintahan sipil. Berlangsung juga kooptasi dan mobilisasi terhadap organisasi kemasyarakatan seperti Dharma Wanita, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, Program Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Komite Nasional Pemuda Indonesia, Karang Taruna, PGRI, Organisasi Siswa Intra Sekolah dan lain-lain untuk menjadi anggota Golkar. Proses ini lazim dikenal dengan gejala Golkarisasi. Hal ini berjalan dalam payung kebijakan di awal Orde Baru, yaitu PP No. 6 Tahun 1970 yang mengharuskan sikap monoloyalitas PNS terhadap Golkar. Untuk mempertahankan status quo, pemerintah menggunakan Gologan Karya (Golkar) sebagai penopangnya. Untuk itu diterbitkan peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969 yang melarang pegawai negeri menjadi anggota partai politik (parpol).

Selain itu, pada masa Soeharto terlihat gejala parkinsonisasi birokrasi yaitu proses menjadikan fungsi birokrasi untuk menampung kader-kader politik penguasa atau rezim. Gejala parkinson ini ditandai dengan jumlah jabatan atau posisi dalam departemen dan nondepartemen yang semakin diperbesar untuk menampung atau memberi kompensasi jabatan pada para pendukung politik yang berjasa memenangkan pemilu dan mendukung pemilihan presiden yang berkuasa, tanpa batasan periode waktu. Sehingga jumlah birokrasi membesar dan sekaligus menjadi alat untuk mengawasi dan membatasi hak-hak ekspresi anggota masyarakat.

Sentralisasi kekuasaan didukung penuh oleh sistem birokrasi yang berpolitik dan menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur idelogi yang mendukung otoritarianisme. Secara politik, birokrasi dijadikan sebagai pembina partai politik. Secara ekonomi, birokrasi digunakan sebagai penopang jalannya pembangunan ekonomi nasional. Sebagai hasilnya, proses demokratisasi terhambat, kesadaran rakyat pada hak politiknya cenderung dibuat rendah dan partai politik tidak diberi ruang optimal untuk berperan sebagaimana partai politik di negara demokrasi.

Pendidikan itu sendiri menjadi objek birokratisasi yang sangat kaku dan sentralistik. Semua produk kebijakan dalam bidang pendidikan senantiasa menjadi produk para birokrat yang sebenarnya hanya sedikit dari mereka yang benar-benar pengalaman secara akademik di dunia pendidikan.

Pada masa ini terjadi juga gejala birokrasi mengawasi masyarakat secara birokratis dan berjenjang dengan pengendalian yang ketat. Hal ini terjadi pada lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, terutama lembaga pendidikan negeri. Untuk yang swasta, karena mereka harus mengikuti standar nasional dan standar itu yang menentukan adalah Depdiknas, maka dengan sendirinya mereka ikut-ikutan menjadi birokratis. Dengan kata lain, seluruh lembaga pendidikan yang ada di Indonesia lebih berorintasi pada birokrasi daripada gerakan intelektual.

Birokratisasi pendidikan seakan telah menjadi mainstream politik pendidikan di Indonesia. Birokratisasi ini telah menyebabkan para ilmuan dan akademisi, termasuk guru yang kreatif dan inovatif tidak mampu mengembangkan potensi mereka secara makasimal.

B.PGRI: Bentuk Korporatisme Orde Baru
Salah satu aspek krusial untuk menjaga kestabilan politik dalam pembangunan adalah kemampuan pemerintah untuk mengendalikan kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Pemerintahan Orde Baru sangat memahami pentingnya aspek stabilitas politik dalam mendorong proses pembangunan ekonomi. Stabilitas politik juga dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menarik bantuan modal asing yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi.

Kelompok korporatis yang ada pada masa rezim Orde Baru diantaranya KNPI untuk kelompok pemuda, SPSI untuk buruh, HKTI untuk petani, HNSI untuk nelayan, KADIN untuk pengusaha, HIPMI untuk pengusaha muda, Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri, PWI untuk wartawan, KORPRI untuk Pegawai Negeri, PGRI khusus untuk para guru, dan lain sebagainya.

Strategi korporatisme tidak lain untuk mengontrol dan memobilisasi guru. Dengan organisasi profesi tunggal PGRI, guru-guru lebih mudah dikontrol dan diarahkan untuk mendukung GOLKAR dalam pemilu. Hal ini bisa dilihat dalam hasil kongres XIII tahun 1973 dan konferensi pusat tahun 1975. Kedua keputusan ini menjadi dasar sikap politik PGRI pada masa Orde Baru. Keputusan kongres ini diperkuat melalui konferensi pusat PGRI ke II tahun 1975, yang menyatakan bahwa pada bidang umum/organisasi, PGRI sebagai organisasi komponen Golkar.

C. Reaksi Guru Terhadap PGRI
Mobilisasi guru lewat PGRI ini menjadi pemicu ketidakpuasan para guru. Selain itu, kehadiran PGRI kurang dirasakan manfaatnya. Saat ruang demokratisasi terbuka lebar, guru-guru menggunakan momentum ini untuk bergerak dan membentuk organisasi guru baru yang selama Orde Baru hanya ada PGRI.

Kemunculan organisasi-organisasi guru di luar PGRI di era reformasi memiliki latar belakang tertentu. Sebagai wadah aspirasi guru, peranan organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dinilai kurang memberi manfaat. Bahkan PGRI dimobilisasi untuk kepentingan politik. Guru-guru di Indonesia cenderung kecewa dengan kinerja di PGRI yang kurang dirasakan manfaatnya.

Kehadiran organisasi guru dapat dipahami secara makro dan mikro. Secara makro, organisasi guru lahir berawal dari kekecewaan terhadap rezim yang mengatur dan mengontrol segalanya. Sehingga muncullah beberapa elemen masyarakat yang merasa kepentingan untuk melawan hegemoni negara, yaitu dalam bentuk-bentuk asosiasi sukarela atau volunteer association. Alat-alat kekuasaan negara yang hegemonik pada masa Orde Baru, misalnya PGRI.

Secara mikro, kehadiran organisasi-organisasi guru itu dapat dipahami sebagai pressure group, kelompok penekan. Sehingga yang tadinya ditekan negara, sebaliknya sekarang menjadi pengawas pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan dunia kependidikan.

Lodewyk GF. Paat, anggota Koalisi Pendidikan mengatakan,
Kelompok guru mendirikan organsasi lain karena memandang PGRI tidak mampu menjawab permasalahan mereka. Ia mencontohkan kurangnya perlindungan terhadap guru-guru yang mendapatkan masalah.

Organisasi guru memiliki dua fungsi. Yang pertama, menjaga, melindungi dan menyejahterakan anggotanya, serta meningkatkan kualitasnya. Yang kedua adalah sebagai kekuatan politik.

Pandangan tentang ketidakpuasan terhadap PGRI dikuatkan oleh data survei yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2000. Munculnya organisasi guru di luar PGRI belakangan ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana efektivitas organisiasi PGRI dalam memperjuangkan aspirasi guru anggotanya. Data survei ini membuktikan PGRI kurang bisa memperjuangkan kepentingan guru.
Selama ini, PGRI lebih merupakan representasi dari birokrasi pemerintah dan bersifat elitis, sehingga mereka gagal memahami kepentingan guru. Bahkan PGRI hanya menjadi beban guru sebab tega menyusutkan kesejahteraan anggotanya melalui pemaksaan iuran organisasi tanpa pernah memperjuangkan nasib guru yang terus menerus ditindas. Iuran diambil langsung oleh PGRI ketika guru sedang menerima gaji. Dan anehnya pungutan itu tidak tercatat di slip gaji sehingga sulit dibuktikan

PGRI tidak ubahnya seperti organsasi yang elitis dan tidak memperhatikan kepentingan guru. Sifat elitis tersebut disebabkan sebagian besar personil di kepengurusan adalah orang-orang birokrasi yang tidak memahami persoalan guru dan pendidikan. Sepak terjang PGRI hanya menguntungkan kelompok tertentu, bahkan dalam prakteknya justru merugikan kepentingan kepentingan guru, misalnya melalui pungutan yang diambil paksa dari gaji guru. Bila dulu PGRI besar, itu karena jumlah anggotanya diambil secara otomatis. Artinya setiap guru secara otomatis masuk sebagai anggota PGRI.

Ketidakmampuan PGRI dalam menjalankan peranannya memang menjadi alasan sebagian guru untuk mendirikan organisasi guru lain. Baik itu dalam memperjuangkan kesejahteraan guru atau mengubah pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.

C.Reformasi Pendidikan
Reformasi politik 1998 berimbas pula pada bidang pendidikan. Mulai banyak teriakan-teriakan mengenai pentingnya reformasi di bidang pendidikan. Prof. Dr. Mochtar Buchori berkali-kali menyerukan pentingnya otonomi guru agar guru lebih profesional dan independen. Guru terus bergerak, tidak lagi menjadi profesi termarjinalkan baik secara sosial ekonomi dan politik. Bahkan perubahan bukan hanya pada otonomi guru, tetapi sampai pada tingkat institusinya.

Untuk melakukan reformasi pendidikan, maka yang mutlak harus dilakukan ialah mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan yang dirampas oleh birokrasi kepada sekolah dan guru. Dengan mengembalikan kebebasan mendidik kepada guru. Dalam tinjauan eksternal, dengan membuat pendidikan menjadi integral dengan reformasi politik, ekonomi, hukum. Dalam reformsai politik, upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan demokrasi dalam masyarakat, khususnya murid karena murid inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan bangsa.

Satu-satunya jalan dengan perombakan kurikulum, perubahan cara mengajar sampai
suasana sekolah. Reformasi ekonomi dirumuskan dengan mengembangkan kehidupan ekonomi yang terbuka dan bersifat adil, termasuk dalam penyediaan anggaran untuk pendidikan. Dalam reformasi hukum dilakukan dengan mengadakan perubahan terhadap instrumen hukum yang membuat seluruh lapisan masyarakat menghormati dan menaati segenap hukum yang berlaku. Sehingga tercipta masyarakat yang demokratis.

Cita-cita reformasi adalah membangun masyarakat demokratis. Dalam proses pendidikan, negara demokratis mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan/kelompok di dalam masyarakat. Masyarakat demokratis bisa terwujud apabila hak-hak dan kewajiban warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.

Selain itu, pendidikan demokratis menjadi tuntutan reformasi. Ada unsur-unsur yang harus diwujudkan, antara lain: Manusia memerlukan kebebasan politik, artinya mereka memerlukan pemerintah dari dan untuk mereka sendiri. Pemerintah haruslah mempunyai rasa keadilan dan toleransi. Sebab kalau tidak demikian, maka hak-hak politik rakyat tidak dihargai. Hal ini berarti bahwa pendidikan politik dalam arti bahwa peserta didik harus mengetahui dan menggunakan hak-hak politiknya. Seorang warga negara yang baik harus mengetahui mengenai hak-hak politiknya, antara lain hak untuk memilih pemerintah yang dianggapnya baik tanpa paksaan.

D.Desentralisasi pendidikan
Desentralisasi merupakan salah satu tema pokok reformasi politik Indonesia pasca Soeharto. Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penyelenggaraan dari sentralisasi menuju arah desentralisasi yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada masyarakat. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah atau memberdayakan masyarakat, sehingga leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarasa sendiri. Sebelumnya, sistem pendidikan yang sentralistik di bawah satu komando Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Misalnya, sentralisasi kurikulum, sentralisasi pengawasan, sentralisasi pengawasan mutu dalam lembaga Badan Akreditasi Nasiona (BAN).

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, dengan jelas dirumuskan bahwa misi pendidikan nasional adalah menciptakan suatu sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.

Penulis mencermati bahwa rumusan misi pendidikan nasional tersebut membuat jelas bahwa sistem dan iklim yang ada tidak cocok lagi dengan misi Orde Baru, yang sentralistik dan birokratis serta mematikan jiwa demokrasi. Sistem yang kaku serta mematikan partisipasi masyarakat, inisiatif dan kreativitas peserta didik, dan pendidik tidak mungkin melahirkan iklim atau proses pendidikan yang demokratis. Begitu pula halnya, dengan suatu sistem yang kaku, maka akan sulit membangun suatu pendidikan yang akan menghasilkan output bermutu. Karena pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya, dengan sendirinya kualitas manusia Indonesia yang hidup di dalam lingkungan daerahnya menjadi terasing dan tidak menunjang perbaikan taraf hidup di daerahnya sendiri. Warisan pendidikan Orde Baru telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia seolah robot yang tidak berkualitas dan tentunya tidak berdaya saing.

Selanjutnya secara lebih khusus, visi dan misi pendidikan nasional diturunkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 yang dijadikan acuan penddikan nasional selama lima tahun sekali.

E.Netralitas Birokrasi/PNS
Netralitas PNS ini merupakan konsekuensi perubahan politik dari reformasi di bidang perundang-undangan yang merupakan keinginan untuk membebaskan birokrasi pemerintahan dan birokrat dari persaingan, pertentangan, dan tarik menarik kepentingan antara partai-partai politik yang akan semakin meningkat dengan semakin demokratisnya sistem politik Indonesia.

Reformasi birokrasi yang dimaksudkan adalah adanya pembaharuan dan penyesuaian untuk membentuk kembali apa yang menjadi tujuan dibentuknya birokrasi, dengan berbagai pengertian, berkonotasi mencapai kebaikan birokrasi pemerintah di negara demokratis yang betul-betul bekerja sesempurna-sempurnanya, berorienasi kepada kepentingan publik dengan menerapkan manajeman yang semakin modern yang berlandaskan pengabdian yang total dan sepenuh hati, pikiran dan tenaga untuk publik yang wajib dilayani.

Undang-undang yang mengatur posisi PNS umumnya mengarah pada kaitan netralitas demi profesionalisme pelayanan publik. Secara spesifik, pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pada bagian menimbang, di awal kalimatnya dicantumkan:
“Bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum,berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, bermoral tinggi, maka diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”

Masih dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Pasal 3), secara tegas menyatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, maka PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Netralitas birokrasi harus dapat dijadikan jargon yang menempatkan aparatur dalam ruang yang tidak terpengaruh oleh kepentingan politik golongan tertentu, sehingga aparatur dapat bekerja memberikan pelayanan kepada publik tanpa diskriminatif sebagaimana disebutkan di atas. Keinginan untuk menjadikan aparatur yang netral secara eksplisit telah ditetapkan dalam berbagai Undang-undang, antara lain, Program Pembangunan Nasional (PROPENAS 2001-2004) “Memantapkan netralitas politik pegawai negeri dengan menghargai hak-hak politiknya”

Netralitas PNS yang diharapkan sejalan dengan demokratisasi, juga telah membawa pandangan bahwa birokrasi pemerintahan dan pegawai negeri harus bersifat netral dalam politik, artinya pegawai negeri tidak menjadi anggota/pengurus partai politik dan tidak terlibat dalam kegiatan partai politik sebagai pendukung/simpatisan. Dengan demikian, birokrasi pemerintah dan pegawai negeri berdiri atas semua partai politik dan golongan.

Ketentuan mengenai pemberhentian PNS yang menjadi anggota partai politik diatur dalam PP Nomor 5 dan 12 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota Partai Politik. Dalam PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang Keanggotaan PNS dalam Partai Politik, disebutkan bahwa setiap pegawai negeri tidak saja harus melepaskan keanggotaannya pada partai politik tetapi juga dituntut bertindak netral terhadap partai politik dalam pelaksanaan pemilihan umum.

Meskipun demikian, sebagai warga negara, pegawai negeri tetap mempunyai hak-hak politik berupa hak memilih dan dipilih. Netralitas PNS tidak berarti PNS buta politik dan tidak peduli dengan perkembangan politik. Sebagai aparatur negara, PNS harus memahami perkembangan politik yang terjadi, sehingga tidak mudah dipermainkan oleh tarik menarik kepentingan politik yang ada.

F.Lahirnya Organisasi Guru Di Berbagai Daerah
Gerakan reformasi telah membuka ruang demokratisasi di berbagai bidang, termasuk di dunia pendidikan. Demokratisasi dalam pendidikan bisa dilakukan dengan memberikan hak-hak guru seluas-luasnya untuk berserikat, menyatakan pendapat serta ikut menentukan kebijakan pendidikan nasional. Selama ini hak-hak guru untuk menentukan sendiri nasibnya telah dikebiri, termasuk hak untuk ikut menentukan kebijakan.

Dalam ruang demokrasi, momentum guru untuk bergerak bebas pun terbuka lebar. Salah satu hal terpenting adalah pengakuan kebebasan berkumpul dan berorganisasi. mimbar bebas, berkumpul, mengeluarkan pendapat menjadi sesuatu yang lumrah dan tidak perlu ditakutkan lagi. Kondisi ini memicu para guru di berbagai daerah untuk mendirikan organisasi guru. Hal ini dapat dipahami bila gerakan guru muncul dalam masa demokratisasi yang muncul sejak reformasi. Faktor utamanya dikarenakan guru dalam menjalankan profesinya sangat tergantung kepada pemerintah dan pemerintah sendiri membuat kebijakan yang membuat guru ketergantungan kepadanya.

H.A.R. Tilaar, pengamat pendidikan mengatakan,
UUD 1945 kita memiliki pasal kebebasan berserikat. Jadi bukan monopoli. Tentu saja ada eksesnya. Suatu negara demokrasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Guru juga bagian dari masyarakat, tentunya boleh saja berserikat.

Kebebasan berorganisasi yang dijamin undang-undang melecut nurani sebagian guru. Mereka mengorganisasi diri, bergerak memperjuangkan nasib pendidikan yang semakin terpuruk, menentang dan meluruskan pemerintah yang memelihara dan menjaga keterpurukan itu.

Di dorong rasa kebutuhan pada organisasi yang memperjuangkan guru dan karena ketidakpuasan serta kekurangpercayaan guru di berbagai daerah terhadap peran organisasi guru Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) selama ini, akhirnya membuahkan berbagai macam organisasai berbasis massa guru diberbagai daerah di Indonesia.

Di Jakarta Sekelompok guru yang resah dengan keadaan pendidikan, mencoba bergerak memperjuangkan nasib pendidikan khususnya kesejahteraan dan perlindungan profesi guru. Gerakan itu diwujudkan dengan mendirikan Lembaga Advokasi Guru (LAP) pada bulan November tahun 1999.

Di kota lain di Indonesia, lahir juga organisasi guru selain PGRI. Di Bandung berdiri Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung yang di dirikan tanggal 3 Maret tahun 2000 di Madrasah Ibtidaiyah, Jalan Ciroyom IV Kota Bandung. FAGI dideklarasikan pada tanggal 23 Maret 2000 di Gedung Pusat kebudayaan Prancis (CCF), Jalan Purnawarman Bandung dengan diiringi 100 orang pengamen jalanan kota Bandung. kemudian disahkan dengan Akta Notaris pendirian No 01/2002 dari Notaris Rasman SH. Jalan Buahbatu No. 40 Bandung pada tanggal 19 November 2004. Berdiri organisasi guru dengan nama Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) pada tanggal 16 Februari 2001 di SD 01 Pagi Duri Kepa, Jakarta. Organisasi ini lahir dilatarbelakangi atas keprihatinan dan diskriminasi yang terjadi pada guru-guru honorer, terutama masalah kesejahteraan. Selain itu, perlindungan hukum yang lemah, akibatnya guru honorer menjadi mudah ditindas oleh pihak sekolah dengan cara mengurangi jam mengajar atau pemecatan sepihak. Lebih ironisnya guru dipecat ketika tidak melakukan kesalahan apa-apa, bahkan secara akademis terbilang aktif dan kritis.

Di Lampung pada hari Kamis, 20 April 2000 bertempat di halaman Parkir Gedung Olahraga Saburai – Bandar Lampung dideklarasikan satu organisasi guru independen dengan nama Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung. Pendirian tercatat dalam Akta Notaris dan PPAT oleh Cayaha Hairani Djausal Z., S.H. Nomor 2 tanggal 6 April 2004.

Hal terpenting, selain meluasnya perhatian dan opini publik akan pentingnya perbaikan nasib dan kesejahteraan guru, gerakan guru ini banyak menginspirasi guru di daerah lain untuk mendirikan organisasi guru. Organisasi guru di daerah yang bersifat independen bermunculan. Mulai dari Sumatera bernama Asosiasi Guru Nangroe Aceh Darusalam, FIGURMAS di Banyuwangi, LAP Banten, Forum Guru Tanggerang, IGHI Sumatera Barat, IGHI Padang, FOGGAR Garut, Forum Guru Cilacap, Forum Guru Jawa Timur, PGTTI Subang, IGHI Padang Panjang, FK-FAGI di Sulawesi Selatan hingga Perhimpunan Guru Mahardika Indonesia Di Lombok, dan lain-lain.

G.Deklarasi FGII
Inilah barangkali menifestasi optimal kejengkelan guru yang selama ini terkungkung kebebasan pedagogisnya, terbelenggu aspirasi politiknya, ditumpuli motivasi kreativitasnya, dan secara sengaja dijadikan tumbal serta mesin politik oleh penguasa. Sementara kesejahtaraannya dikebiri dan diabaikan. Manifestasi itu di konkritkan dengan membentuk organisasi guru baru-di luar PGRI sebagai wadah perjuangan aspirasi guru

Lahirnya FGII di dorong karena adanya kebutuhan akan organisasi yang menyuarakan aspirasi guru. Keinginan ini pula dikarenakan organisasi yang ada saat itu (PGRI) dinilai kurang mampu menyuarakan aspirasi guru. Selain itu adanya keinginan bersama untuk memperjuangkan dan menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk memajukan kehidupan bangsa dan negara.

Embrio pergerakan itu muncul saat reformasi merambah kepada tuntutan demokratisasi di bidang pendidikan. Tuntutan kepada kebebasan berserikat direpresentasikan dengan lahirnya organisasi guru di daerah-daerah. Masa pergerakan organisasi guru di setiap daerah yang muncul sejak tahun 1999 terus berkembang menjadi sebuah kekuatan masa guru.

Pergerakan itu semakin terorganisir ketika terjadinya pertemuan antar organisasi guru di Jakarta, hingga pada akhirnya ada keinginan bersama untuk mendirikan organisasi guru yang bersifat nasional. Seiring dengan akan berdirinya FGII, maka kini guru tidak hanya bernaung di satu organisasi guru PGRI.
Dalam waktu dekat akan dideklarasikan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang persiapannya di godok oleh panitia persiapan deklarasi FGII. Sekelompok guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta yang memprihatinkan minimnya perhatian kepada soal pendidikan di Indonesia akan mendeklarasikan kelahiran Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).

Setelah panitia persiapan deklarasi menyiapkan segala perangkatnya, maka sesuai dengan waktu yang disepakati, pada hari Kamis tanggal 17 Januari 2002 pukul 10.00-12.00 WIB. Bertempat di Tugu Proklamasi, Jln. Proklamasi Jakarta, di proklamirkan deklarasi Federasi Guru Independen Indonesia.

Berikut naskah deklarasi FGII yang disalin kembali dari naskah aslinya
DEKLARASI

Perjalanan panjang sejarah pendidikan bangsa Indonesia masih belum menampakkan keberhasilan dalam memerangi kebodohan dan mengangkat harkat martabat serta hak-hak asasi profesi Guru.

Oleh karena itu, Guru harus mampu berperan pada dunia pendidikan dalam melahirkan kader-kader bangsa yang berkualitas dan melakukan perubahan serta menjadi “sang pembebas”.

Dengan mengharap rahmat Allah yang maha kuasa, kami sepakat membentuk wadah perjuangan yang Independen dan demokratis, dengan nama Federasi Guru Independen Indonesia.

Tugu Proklamasi-Jakarta
Kamis, 17 Januari 2002
Deklarator


Deklarasi dibacakan oleh setiap perwakilan dari organisasi-organisasi guru yang sepakat mendirikan FGII. Deklarasi ditandatangani oleh: 1) Suparman LAP (Lembaga Advokasi Pendidikan) Jakarta. 2) Supriyono FGHI (Forum Guru Honorer Indonesia), 3) Rachmad Basuki Fokus Guru Malang, 4) Hartono FAGI (Forum Aksi Guru Indonesia) Bandung, 5) Murni Sulaiman FMGI (Forum Martabat Guru Indonesia) Lampung, 6) Gabriel P.S LAP (Lembaga Advokasi Pendidikan) Banten, 7) Enug Sudrajat PGT (Persatuan Guru Tangerang), 8) Bustami IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) Sumatera Barat, 9) Akhiardi IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) Padang Pariaman, 10) Wannasir IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) Padang, 11) Dadang FOGGAR (Forum Guru Garut), 12) Muhardi IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) kab. Lima Puluh kota Sumatera Barat, 13) Sugito FIGURMAS, 14) Erianto IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) kota Baya Timbul, 15) Dwiyana PGNPRI Tanggerang, 16) Aris PKG Tanggerang, 17) Siti Nurmasitoh Asokadikta Jakarta, 18) Abdurahman FKPOP Lebak, 19) Supriyatno FG (Forum Guru) Cilacap, 20) Bambang Triatmidi FG (Forum Guru) Jawa Timur, 21) Sasongko PGTTI Subang, 22) Satria Hendra Neti IGHI (Ikatan Guru Honorer Indonesia) Padang Panjang, 23) Ardi Maryono FGHI (Forum Guru Honorer Indonesia) Jakarta Barat, 24) Diah Rusyad FAGI (Forum Aksi Guru Indonesia) Bandung, 25) Mulyono Sabar FPP Tanggerang, Syamsul Rizal FGI Jakarta, 26) Nurhadi dari DPD PGTTI, 27) Tresnawati FAGI (Forum Aksi Guru Indonesia) Bandung, 28) Dedi Sugih FAGI (Forum Aksi Guru Indonesia) Bandung, 29) Saefudi FOGGAR (Forum Guru Garut) 30) Dindin Jamaludin FG (Forum Guru) Ciamis, 31) Amir Hamzah LAP (Lembaga Advokasi Pendidikan) Jakarta.
Kemudian disusul dengan pembacaan 17 tuntutan FGII, yang disebut 17 tuntutan revolusi pendidikan, yaitu:
1.Mewujudkan demokrasi dan transparansi sistem pendidikan nasional.
2.Tetapkan UU. Perlindungan hukum terhadap profesi guru.
3.Jadikan pendidikan sebagai “Panglima” dalam pembangunan nasional.
4.Alokasikan anggaran pendidikan 30% dari APBN.
5.Pendidikan gratis dan berkualitas bagi rakyat.
6.Mewujudkan akuntabilitas publik dalam pendidikan nasional.
7.Kembalikan pendidikan sebagai peletak dan penjaga nilai-nilai moral yang luhur.
8.Stop campur tangan birokrat pendidikan terhadap organisasi profesi guru.
9.Tindak tegas birokrat pendidikan yang menyalahgunakan wewenang jabatan/KKN.
10.Hapus diskriminasi antara guru honorer, swasta dan PNS.
11.Hilangkan diskriminasi terhadap organisasi profesi guru.
12.Libatkan semua komponen organisasi profesi guru dalam pengambilan kebijakan sistem pendidikan.
13.Bentuk komite/dewan pendidikan yang independen.
14.Tetapkan UU perlindungan hukun terhadap anak didik.
15.Hapuskan kurikulum yang memasung kreativitas guru dan murid.
16.Hapus kapitalisme pendidikan dan sistem Ebtanas yang mengkomersialisasikan serta mengerdilkan ilmu pengetahuan.
17.Jangan jadikan pendidikan sebagai kelinci percobaan kebijakan pendidikan.


Tabel
Berikut anggota FGII dalam kurun waktu 2002-2005.
No Nama Organisasi guru
1 Asosiasi Guru-NAD
2 Barisan Guru Bersatu (Kobar GB) NAD
3 Serikat Guru Sumatera Utara (KPOG) Sumut
4 Komunitas Airmata Guru (KAMG) Sumut
5 Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Padang
6 Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI)
7 Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung
8 Serikat Guru Jakarta (SGJ)
9 Forum Komunikasi Guru Tangerang/Banten
10 Asosiasi Guru Indonesia (AGI) Cilegon
11 Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung
12 FAGI Kota Subang
13 Forum Guru-Guru Garut (Foggar)
14 FAGI Purwakarta
15 Forum Guru (FGT) Tasikmalaya
16 FG Sukabumi
17 Serikat Guru Hikmah Teladan-Cimahi
18 Forum Guru Solo
19 Forum Tenaga Honorer Swasta (FTHS)Cirebon
20 Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) Purwokerto
21 Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jateng
22 Perkumpulan Guru dan Karyawan Sekolah Swasta Indonesia (PEGKSSI) DIY Yogyakarta
23 Forum Komunikasi Guru (Fokus Guru) Malang
24 Aliansi Guru Nasional Indonesia- Jatim
25 Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia (PGTTI)-Jatim
26 Perhimpunan Guru Mahardika Indonesia (PGMI) NTB
27 Persatuan Guru Swasta (PGS) Balikpapan
28 Persatuan Guru Swasta (PGS) Samarinda
29 PGS Bontang
30 Perhimpunan Guru Untuk Reformasi Pendidikan (Pergerakan) Kalbar
31 Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia (FK-PAGI) Sulsel
32 Forum Guru Bulukumba, Sulsel,
33 Sulawesi Utara Education Forum (SedFor)
34 Forum Guru Timor Tengah Utara (FGTTU).



H.FGII Memperjuangkan Kepentingan Guru

Tahun 2002 merupakan tahap awal membangun organisasi tetapi FGII berusaha melaksanakan segala apa yang diamanatkan dalam AD/ART FGII. Dalam advokasi pendidikan, FGII telah berperan dalam perlindungan hukum terhadap guru yang mengalami kasus baik pemecatan maupun perkara dengan pemerintah. kemudian pengkritisan terhadap kebijakan pendidikan, semisal soal Ujian Nasional (UN) dan advokasi terhadap peningkatan profesionalisme guru yang dilakukan dengan pelatihan HAM untuk Guru, seminar pendidikan, menerbitkan buletin “martabat” dan lain-lain.

Semenjak FGII berdiri, bantuan dalam advokasi telah dilakukan oleh FGII terhadap guru-guru yang mengalami masalah, baik dengan pihak sekolah maupun pemerintah. Beberapa kasus diantaranya menolak tindakan PHK sepihak terhadap guru dan karyawan oleh Yayasan Al Azhar, SMA 17 Agustus Jakarta, dan memberikan bantuan advokasi pada guru-guru yang terkena PHK, memberikan advokasi kepada guru-guru di Tangerang dan Jakarta yang dimutasi secara sepihak dan perkara lainnya. Pengurangan jam mengajar dan pemecatan yang menimpa guru-guru swasta. Perkara yang banyak menyita perhatian publik adalah kasus Retno Listyarti dan Akbar Tanjung serta Nurlela perkara SMP 56 dengan Pemda DKI Jakarta. Keduanya perkara guru melawan kekuatan penguasa sehingga dapat dipahami kenapa kedua perkara ini menyita perhatian publik.

FGII konsisten menolak pelaksanaan UN untuk dijadikan standar kelulusan siswa dengan pertimbangan: Secara yuridis pelaksanaan UN bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Secara Sosiologis bahwa pelaksanaan UN telah menimbulkan budaya instan yang mengabaikan aspek evaluasi pendidikan secara komprehensif, yaitu evaluasi kognitif, afektif, dan psikomotorik. UN hanya mengukur satu aspek kognitif saja. UN hanya mengukur bagian kecil dari output dan mengabaikan proses pendidikan sebagai indikator utama. Secara psikologis UN telah mengebiri peran guru dan sekolah dalam proses evaluasi terhadap peserta didik. Di samping itu, UN telah melakukan pengistimewaan terhadap beberapa mata pelajaran tertentu sementara untuk pelajaran yang lain diabaikan.

FGII sebagai organsiasi profesi guru mempunyai kewajiban dalam peningkatan profesionalisme guru. Maka sejak berdiri, FGII aktif bergerak dalam membangun dan meningkatkan profesionalisme guru, khusunya bagi para anggota FGII. Peningkatan profesionalisme guru ini dilakukan dalam bentuk seminar pendidikan, pelatihan guru kritis, pelatihan HAM untuk Guru dan menerbitkan buletin “Martabat” untuk para guru.
Seminar pendidikan yang dilaksanakan diantaranya, mengadakan Dialog terbuka bertema “Penerimaan Siswa Baru dan Masa Depan Pendidikan Nasional”, Juni 2003. Dialog terbuka “Membedah Undang-Undang Sisdiknas”, 20 September 2003. Diskusi terbuka para pakar “ Membedah RUU Guru”, 31 Januari 2004 Mengadakan workshop tentang “Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)”, April 2004. Diskusi terbuka “Mendagangkan Sekolah”, 2005. Diskusi Terbuka “Komersialisasi Pendidikan”, 2005. Diskusi terbuka “Membedah Visi Cawalkot Kota Bandar Lampung tentang Pendidikan Gratis”, 2005. Seminar pendidikan “Pendidikan hari ini dan esok antara idealitas dan realitas” tahun 2005. selain itu, anggota FGII juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di kampus dan di berbagai forum diskusi dan seminar terutama yang berkaitan dengan upaya peningkatan pelayanan dan mutu pendidikan.maupun di luar daerah.

Kemudian FGII juga merasa perlu adanya pelatihan-pelatihan HAM, hukum dan advokasi bagi untuk dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran dan sikap kritis guru di beberapa daerah. Kegiatan yang dilaksanakan diantaranya mengadakan seminar dan pelatihan pendidikan HAM untuk guru SLTA sederajat bekerjasama dengan Solidamor, Jakarta, November 2002. Evaluasi dan monitoring Pelatihan Pendidikan HAM bagi Guru SMU dan Sederajat, 18 s.d. 20 September 2003 serta di daerah lainnya.

FGII pada tahun 2000 belum terbentuk, saat itu masih di wakili LAP. LAP turut aktif dalam penyempurnaan naskah RUU Guru tersebut. Pada hari Selasa, tanggal 31 Oktober 2000, LAP di undang oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bagian Direktur Tenaga Kependidikan dalam acara rapat penyempurnaan naskah akademis Rancangan Undang-Undang Guru Republik Indonesia, Draft Undang-Undang Guru Republik Indonesia dan naskah pedoman penghargaan terhadap prestasi dan pengabdian tenaga kependidikan. Rapat tersebut dilaksanakan di ruang sidang Direktorat Tenaga Kependidikan, Jln. RS Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan.
Setelah FGII di deklarasikan pada tahun 2002, FGII mulai berperan dan terlibat dalam penyususnan RUU guru ini menggantikan LAP. Hal ini dikarenakan FGII merupakan organisasi guru yang lebih berskala nasional dan mewakili organisasi-organisasi guru di dearah lain.

Masukan-masukan pemikiran dalam RUU Guru terus disampaikan dalam pembahasan rapat-rapat penyusunan naskah undang-undang tersebut. Usulan FGII diataranya kebebasan guru untuk berserikat, organisasi guru harus bersifat independen dan diurus oleh guru, hak guru untuk mogok, hak guru memperoleh perlindungan termasuk perlindungan dari ancaman birokrasi.

Dari sejumlah klausul yang diusulkan, ada Tiga poin usulan ini murni usulan FGII. Klausul yang akhirnya masuk ke dalam UU Guru dan Dosen, antara lain:
Pasal 1 tentang arti organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru. Pasal ini menjadi penting dan dianggap keberhasilan untuk mempertanyakan keberadaan birokrasi pendidikan atau bahkan orang-orang yang berkiprah di politik yang secara langsung/tidak langsung memanfaatkan organisasi guru untuk tujuan/kepentingan pribadi/golongan.
Pasal 14 tentang hak yang menyebutkan guru mempunyai kebebasan berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini dapat dianggap prestasi juga untuk mempertegas bahwa guru tidak lagi harus memasuki satu organisasi guru saja tetapi bisa masuk dan bahkan mendirikan organisasi-organisasi guru yang lain yang lebih dapat aspiratif pada kepentingan guru, pendidikan dan kepentingan bangsa.
Pasal 39 tentang perlindungan guru dari ancaman, tindakan diskriminasi dari birokrasi. Ini menjadi klausul penting karena ketakutan guru untuk bebas bicara dan ikut menyampaikan pikiran sering dihambat oleh rasa takut pada birokrasi pendidikan.

Perjuangan panjang mendorong UU Guru dan Dosen

RUU Guru pertama kali disiapkan dan di bahas oleh Direktorat Tenaga Kependidikan (Ditendik) Depdiknas bekerjasama dengan Biro Hukum, Biro Kepegawaian, Direktorat persekolahan, Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) merancang draft naskah akademis dan RUU Guru Republik Indonesia.

Pada awalnya draft yang disusun merupakan peraturan pemerintah tentang perlindungan hukum bagi guru. Setelah dibahas secara komprehensif dan mendalam dengan berbagai pihak ternyata rancangan peraturan pemerintah tersebut dirasakan tidak bersifat mengikat dan memaksa sehingga semua forum sepkat draft tersebut ditingkatkan menjadi RUU Guru Republik Indonesia dengan materi ang diperluas.

2000 RUU Guru disosialisasikan secara luas kepada para guru, pengelolaan pendidikan di propinsi/kabupaten/kota, organiasasi profesi, kalangan akademisi di perguruan tinggi.

21 November 2001 Draft RUU guru dipaparkan pada semua unit utama di lingkungan Depdiknas, organisasi profesi dan disepakati untuk diajukan ke Mendiknas (saat itu Malik Fadjar) guna memperoleh persetujuan.

15 Mei 2002 Setelah RUU Guru diperbaiki, sekretaris Jenderal Depdiknas mengajukan permohonan harmonisasi RUU Guru Kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM).

2 Juli dan 19 Agustus 2002 Dua kali dilakukan harmonisasi dan penyempurnaan RUU Guru. Harmonisasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangan-undangan Departemen kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI bersama unsur-unsur: Sekretariat Kabinet (sekkab), Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departemen Agama (Depag), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag), Kementrian Pendauagunaan Aparatur Negara (Menpan), Badan Kepagawaian Negara (BKN), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Luar Negeri (Deplu), dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

27 September 2002 Melalui surat Menteri Kehakiman dan HAM, menteri merekomendasikan usul prakarsa penyusunan RUU Guru kepada presiden.

22 Oktober 2002 Kemudian ditindaklanjuti dengan surat Mendiknas dengan mengajukan permohonan kepada presiden untuk persetujuan prakarsa RUU Guru.

26 Agustus 2003 Diselenggarakan rapat pembahasan RUU guru dengan pihak sekretariat kabinet (Sekkab). Hasil rapat gabungan tersebut menghasilkan kesepakatan perlu adanya penyempurnaan konsep RUU Guru.

24 April 2004 Setelah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sesuai masukan pertemuan sebelumnya, Mendiknas mengajukan kembali usul izin prakarsa RUU Guru kepada presiden melalui surat Nomor 59/MPN/HK/2004.

Agustus 2004 Komisi VI dan Badan Legislatif DPR RI juga mempersiapkan naskah RUU Guru dan diajukan sebagai usul inisiatif.

September 2004 Dikeluarkannya Amanat Presiden (Ampres) sebagai persetujuan formal dalam rangka pembahasan RUU Guru.

14 September 2004 Menteri Sekretariat Negara RI mengeluarkan persetujuan prakarsa penyusunan RUU Guru ditujukan kepada Mendiknas yang tembusannya kepada presiden, wakil presiden, Menko Kesra, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Keuangan.

Akhir 2004 Proses politik kenegaraan pemilihan umum (pemilu) dan dilanjutkan dengan pemilihan presiden (Pilpres) mengakibatkan pembahasan RUU Guru menjadi tersendat. RUU ini pun tidak sempat terbahas pada masa sisa persidangan DPR periode 1999-2004.

23 Februari 2005 Untuk mendorong percepatan pambahasan RUU Guru, rapat internal Komisi X DPR-RI menyetujui penugasan dari Heri Akhmadi dari unsur Pimpinan Komisi X DPR-RI untuk menjadikan penanggung jawab sekaligus ketua panitia kerja (Panja) RUU Guru.
Rapat tersebut juga menyepakati agar pimpinan Komisi X Melakukan lobby dengan pimpinan DPR dan fraksi masing-masing, serta kepada anggota komisi X yang duduk di Badan Musyawarah DPR-RI agar memperjuangkan RUU Guru di bahas di komisi X DPR-RI

1 Maret 2005 Dalam rapat Tim Panja diperolah kesepakatan bahwa RUU Guru usul inisiatif DPR-RI akan dijadikan sebagai acuan dalam pembahasan pendalaman, di dahului dengan melakukan perbaikan, penajaman, dan penguatan substansi draft RUU Guru yang sudah ada.
Tugas tersebut dipercayakan kepada tim ahli komisi X DPR-RI. Dalam pembahasan RUU Guru disepakati perlu melakukan pertemuan-pertemuan dalam bentuk lokakarya untuk mencari masukan dan memperbaiki draft RUU Guru yang sudah ada. disepakati pula dalam rangka perubahan RUU Guru, panja RUU Guru melakukan study banding bersama-sama dengan pemerintah ke beberapa negara dengan alternatif: China, Australia, Thailand, dan Malaysia. Anggota panja RUU Guru diharap menyampaikan usul, saran tentang perubahan redaksional dan perubahan substansi-substansi sebagai bahan Daftar Isian Masalah (DIM) sandingan Komisi X DPR-RI.

9 Maret 2005 Tim Panja mengadakan rapat persiapan pembahasan draft RUU Guru sebagai usul inisiatif. Rapat tersebut antara lain menyepakati bahwa draft RUU Guru yang akan dijadikan sebagai usul inisiatif DRP_RI masih perlu penyempurnaan dari anggota Panja RUU Guru Komisi X DPR-RI.

Untuk itu, masing-masing Poksi Komisi X DPR-RI diharapkan memberikan usul, saran dan masukan secara tertuli8s. Diharapkan, masing-masing fraksi melakukan serap aspirasi ke daerah pemilihan agar diperoleh rumusan yang kreatif komprehensif.
Sementara, draft RUU Guru yang berasal dari pemerintah, yang disiapkan oleh Direktorat tenaga Kependidikan (Ditendik) berfungsi sebagai sandingan dan dijadikan sebagai second opinion. Di samping itu, dalam rangka proses kompilasi dan sinkronisasi atas masukan Poksi Fraksi-fraksi, perlu ada Tim Perumus, dan Tim Sinkronisasi.

17 maret 2005 Untuk mempercepat proses pembahasan, sekretariat Komisi X DPR-RI segera mengirimkan surat ke Sekjen DPR-RI agar Rapat Badan Musyawarah DRP-RI dapat mengadendakan rencana pembahasan RUU Guru dan dapat dibahas oleh Komisi DPR-RI.

7 April 2005 Bersamaan dengan proses politik di DPR-RI, guna melakukan percepatan pembahasan, Tim Ahli Komisi X DPR RI melakukan pendalaman materi pengaturan RUU, baik yang terkait dengan substansi maupun teknis perumusan draft. Pambahasan dilakukan secara intensif dengan mengakomodasi seluruh masukan yang disampaikan oleh masing-masing kelompok Fraksi (Poksi) serta Tim Panja, dan juga masukan masyarakat, baik pada saat dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) maupun konsultasi publik.

Dari berbagai masukan akhirnya pada tanggal ini, Tim Ahli berhasil menyelesaikan draft awal sebagai bahan dasar untuk pembahasan Tim Panja. Draft ini kemudian dijadikan acuan untuk melakukan konsultasi publik ke daerah saat pelaksanaan Kunjungan Kerja (Kunker) di masa reses.

26-28 April 2005 Setelah DIM RUU Guru dan seluruh Fraksi masuk, dilakukan pembahasan (informal) oleh Tim Panja RUU Guru Komisi X DPR-RI dalam bentuk lokakarya, dengan mengundang Kepala Balitbang Departemen Pendidikan Nasional, dan unsur Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
1. Rapat dipimpin oleh Heri Akhmadi berlangsung “hangat”, mengingat adanya usulan dari fraksi Partai Golkar, yakni mengusulkan adanya perubahan judul RUU, dari draft awal, “RUU Guru”, menajdi “RUU Guru dan Dosen”. Ketika bahan pembahasan dibagikan, dan muncul DIM nomor 1 tentang judul RUU dengan tambahan kata “Dosen” menjadi judul RUU.
H. balkan Kaplale, juru bicara Fraksi Partai Demokrat menjelaskan, hasil konsultasi publik di Sumatera Selatan dan Jawa Timur menunjukkan tidak ada yang menyetujui adanya penambahan kata “Dosen” di belakang kata “RUU Guru”. Keterangan tersebut langsung diklarifikasi oleh Fraksi Partai Golkar, dengan juru bicara Prof. Anwar Arifin; bahwa tidak benar komponen pendidikan di Sumatera Selatan menolak unsur “Dosen” dimasukkan dalam UU. Kebetulan Anawar Arifin yang memimpin delegasi Tim Komisi X DPR-RI melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Selatan. Menurutnya, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan yang juga Guru Besar Universitas Sriwijaya (UNSRI) justru mendukung pengaturan Dosen dalam UU. Sementara, pertemuan di UNSRI tidak ada ketegasan mengenai persetujuan atau ketidaksetujuan mengenai masuknya dosen dalam lingkup UU.

Sementara, hasil konsultasi publik di Sulawesi Selatan memberikan dukungan dan masukan akan pentingnya lingkup dosen diatur secara eksplisit dalam UU. Jadi, menurut FPG, pemasukan lingkup dosen sebagai bentuk penampungan aspirasi. Penyusunan UU, disamping aspek yuridis, harus juga mempertimbangkan aspek sosiologi, dan basisnya adalah realitas Guru dan Dosen. Pekerjaannya sama sebagian tetapi ada juga yang tidak sama. Kalau dosen di Perguruan Tinggi itu selain mengajar juga meneliti dan juga mengembangkan diri sebagai ilmuwan dan pengabdi masyarakat.

2. Secara yuridis, penegasan soal pemilihan penyebutan antara Guru dan Dosen sudah dilakukan pada pasal 49 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional, gaji Guru dan Dosen yang diangkat oleh pemerintah dibayar melalui APBN. Sementara itu secara politis kemunculan RUU Guru ini pada awalnya dari kelompok guru, sementara tidak ada dorongan politik yang kuat dalam memperjuangkan kepentingan dosen secara spesifik.m sehingga yang muncul di permukaan sebagai isu yang dominan adalah masalah guru bukan dosen. Padahal dari sisi beban tugas serta keprihatinan dalam hal kesejahteraan, guru dan dosen mengalami kondisi yang sama. Dari sisi kuantitas, realitasnya jumlah dosen itu cukup banyak dan mempunyai peranan yang cukup signifikan dan strategis, yaitu mulai di tingkat diploma, S1, S2 dan S3.
Dari Daftar Isian Masalah (DIM) mengenai nomenklatura judul RUU, setidaknya ada tiga alternatif; RUU Guru sebagai naskah awal, RUU Guru dan Dosen yang diusulkan oleh FPG, RUU guru dan Tenaga Kependidikan yang diusulkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).

Setelah dilakukan curah pendapat dan adu argumentasi yang tidak jarang diwarnai dengan ketegangan-ketegangan, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa secara substansi, lingkup pengaturan UU ini meliputi seluruh pendidik jalur formal, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Sedangkan nama RUU dipending untuk selanjutnya dilakukan lobby dan diskusi pendalaman.
27 April 2005 Perdebatan seru masih seputar nomenklatura judul RUU. Dalam curah pendapat, muncul usulan tambahan dari FPKS, yaitu RUU Pendidik, sebagai jalan keluar dan upaya jalan tengah antardua kelompiok, disamping juga berbasis pada landasan yuridis UU Sisdiknas.

Namun dalam perkembangannya pendapat fraksi-fraksi mulai mengarah pada persetujuan untuk menggunakan nama “RUU Guru dan Dosen” kecuali FPD yang masih terus bersikeras menolak. Melaui lobby dan konsultasi dengan pimpinan fraksi, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa nama RUU ini disepakati menjadi “RUU Guru dan Dosen”.


KESIMPULAN
Guru pada masa Orde Baru sangat bergantung kepada pemerintah. Kondisi ini dialami baik oleh guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun guru swasta dalam aspek ekonomi, politik, budaya dan pedagogis. Ketergantungan ini dikarenakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melanggengkan kehidupan politik penguasa, karena melalui proses pendidikan dapat dialihkan pemikiran-pemikiran dan cara-cara untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam mempertahankan ideologi negara.

Sistem ketergantungan guru terhadap pemerintah itu diatur melalui politik pendidikan Orde Baru yang sentralistik, birokratis dan korporatis.
Dalam sistem pendidikan yang sentralistik, pendidikan dapat menjadi alat seleksi, kontrol dan sosialisasi nilai, pengetahuan, ekonomi dan keterampilan yang efektif dan masif agar tercapai legitimasi kekuasaaan. Dalam proses ini, pemerintah melalui konsep pendidikan yang intergralistik, menyeleksi, mengembangkan dan mengontrol nilai-nilai moral/kebudayaan dan kompetensi praktis sehingga menyatukan heterogenitas sub sistem sosial-budaya (pendidikan) agar dapat di mobilisasi. Akibatnya sistem pendidikan yang tunggal berdiri di atas sub kultur pendidikan bangsa yang plural.

Birokrasi pendidikan telah menyebabkan para ilmuan dan akademisi, termasuk guru yang kreatif dan inovatif tidak mampu mengembangkan potensi mereka secara maksimal karena birokrasi menjadi pengawas masyarakat secara birokratis dan berjenjang dengan pengendalian yang ketat. Hal ini terjadi pada lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, terutama lembaga pendidikan negeri. Untuk yang swasta, mereka harus mengikuti standar nasional dan standar itu yang menentukan adalah pemerintah melalui Depdiknas, maka dengan sendirinya lembaga pendidikan swasta ikut terjerat dalam birokrasi.

Dalam sistem korporatisme negara, pendidikan menjadi alat mobilisasi kepentingan Orde Baru. Hal ini terjadi karena korporatisme merupakan suatu sistem perwakilan sikap dan atau kepentingan tertentu yang unit konstituennya terbatas, wadah tunggal karena memonopoli kepentingan tertentu, mewajibkan keanggotaan, diatur secara hirarkis dan direstui, bahkan diciptakan sendiri untuk dapat dikendalikan dan terkooptasi oleh Kepentingan rezim Orde Baru. Guru menjadi bagian korporatis dengan berlaku organisasi profesi yang tunggal yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Saat gerakan reformasi menumbangkan rezim Orde Baru, terjadi banyak perubahan yang mengarah kepada kehidupan politik yang lebih demokratis. Terjadi penurunan yang drastis terhadap legitimasi dan otoritas politik negara atas masyarakat. Semangat politik baru merupakan akumulasi dari berbagai bentuk resistensi masyarakat sipil terhadap sistem otoriterianisme Orde Baru, yang dinyatakan dengan tuntutan untuk mereformasi sistem politik di Indonesia yang lebih demokratis.

Cita-cita reformasi membangun masyarakat demokratis. Dalam proses pendidikan, negara demokratis mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan/kelompok di dalam masyarakat. Dalam reformasi pendidikan, para pendidik memerlukan kebebasan politik, kebebasan intelektual dan kemampuan untuk bersaing di dalam mewujudkan diri sendiri (self realization). Termasuk dalam self realization ialah hak berserikat atau berorganisasi. Demokrasi lebih dari suatu bentuk pemerintahan, tetapi juga terbukanya kesempatan.

Momentum terbukanya ruang demokratisasi menjadi pemicu munculnya kesadaran para guru untuk menyuarakan aspirasinya yang telah terhegemoni selama Orde Baru. Tuntutan tersebut terutama dalam kebebasan berserikat dan berkumpul yang kemudian direpresentasikan dengan bermunculannya organisasi guru di setiap daerah di Indonesia.

Masa pergerakan guru di mulai sejak tahun 1999 yang ditandai dengan kelahiran organisasi-organisasi guru di setiap daerah. Di Jakarta berdiri Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), di Bandung lahir Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), di Garut muncul Forum Guru Garut (FOGGAR), di Lampung hadir Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI), dan lain sebagainya.

Kelahiran organisasi-organisasi guru ini di dorong oleh ketidakpuasan guru-guru terhadap kebijakan pemerintah yang diskriminasi kepada guru. Selain itu, ada rasa kebutuhan pada organisasi profesi guru yang memperjuangkan guru karena para guru menilai tidak puas dan kurang percaya terhadap organisasi guru PGRI.
PGRI pada masa Orde Baru tidak terlepas dari pengaruh Golkar. Dalam kongres PGRI XIII, PGRI menyatakan sebagai komponen Golkar. Pengaruh Golkar dalam PGRI membuat laju organisasi ini sarat dengan politisasi dari penguasa dan melupakan yang seharusnya menjadi visi misi PGRI, yaitu mensejahterakan guru, mempertahankan harkat dan martabat pendidik. Semua itu tercermin dalam kemiskinan seorang pendidik dan terberangusnya hak-hak politik karena guru melalui PGRI dijadikan alat mobilisasi suara untuk memenangkan Golkar dalam pemilu.

Kehadiran organisasi guru di tiap daerah menjadi alternatif dalam penyampaian aspirasi para guru. Sikap kritis ditunjukan para guru dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pendidikan masa reformasi. Di masyarakat kelompok guru-guru ini dikenal dengan kelompok guru kritis.

Dalam pergerakan guru di tiap daerah, para guru merasa bahwa gerakan yang dilakukan hanya bergerak dalam lingkup daerah. Di dorong faktor tersebut, muncul keinginan bersama para guru untuk mendirikan organisasi yang bersifat nasional.
Keinginan untuk mendirikan organisasi guru yang bersifat nasional semakin besar ketika pada suatu kesempatan para organisasi guru ini duduk bersama dalam pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk guru di Jakarta. Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam membangun konsolidasi antar organisasi guru tiap daerah.

Kesepakatan bersama antar organisasi guru di tiap daerah adalah mendirikan induk organisasi yang berskala nasional. Maka terlahirnya Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang dideklarasikan dan didirikan pada tanggal 17 Januari 2002 di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta. Federasi merupakan himpunan dari berbagai organisasi guru di Indonesia yang lahir di era reformasi politik Indonesia sebagai wujud kesadaran para guru untuk membebaskan dirinya dari sistem lama yang tidak memberi ruang demokrasi bagi masyarakat termasuk guru. Kelahiran Federasi juga tidak terlepas dari kenyataan bahwa organisasi profesi guru yang ada selama pemerintahan Orde Baru dinilai tidak memperjuangkan nasib guru dan sudah menjadi bagian dari sistem birokrasi yang tidak memberi ruang demokrasi bagi guru.
FGII menyatakan sebagai organisasi guru independen yang menghimpun, memperjuangkan, memberikan advokasi dan perlindungan hukum kepada guru dalam menuntun hak-hak profesinya serta mendorong terwujudnya sistem pendidikan yang demokratis, transparansi, berkeadilan, bermartabat dan profesional dengan memperhatikan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Humaniora dan Hak Asasi Manusia.
Kehadiran FGII memberikan “angin segar” bagi para guru dalam menyampaika aspirasi dan perlindungan profesinya. Dalam gerakannya, FGII melakukan advokasi pendidikan. Baik dalam perlindungan hukum terhadap guru yang mengalami kasus baik pemecatan oleh pihak sekolah maupun perkara dengan pemerintah. kemudian pengkritisan terhadap kebijakan pendidikan, semisal soal Ujian Nasional (UN), komersialisasi pendidikan, dan advokasi terhadap peningkatan profesionalisme guru yang dilakukan dengan pelatihan HAM untuk Guru, seminar pendidikan, menerbitkan buletin “martabat” untuk guru. Kemudian FGII berperan dalam mengawal dan penyusunan UU Guru dan Dosen.

IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Dalam ruang demokratisasi tidak lantas suasana pendidikan menjadi demokratis secara keseluruhan. Katergantungan para guru pun tidak bisa lepas begitu saja karena meskipun berlaku otonomi pendidikan tetapi paradigma sistem lama masih sangat melekat. Kondisi seperti ini terlihat dari kebijakan-kebijakan pendidikan yang diskriminatif yang tidak berpihak pada dunia pendidikan khususnya pada guru masih saja kerap terjadi.

DAFTAR REFERENSI
DAFTAR SUMBER DAN PUSTAKA


A. Arsip
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 Tentang Pengaturan kehidupan Politik Pejabat dalam Rangka Pembinaan Sistem Kepegawaian Negeri Republik Indonesia.

Tap MPRS No.XXVII/MPRS/1966 tentang penetapan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.

Tap MPR No.II/MPR1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) dan dikenal sebagai Ekaprasetya Pancakarsa.

Keppres No.10/1979, muncul BP7.

Tap MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN.

Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Undang-Undang No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mengharuskan partai politik dan Golongan Karya serta Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

PP No.20 Tahun 1976 Tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil Dalam Partai Politik atau Golongan Karya.

Keputusan presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 1971 Tentang KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969 yang melarang pegawai negeri menjadi angota partai politik (parpol).

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan dinyatakan bahwa guru dibenarkan untuk mencari penghasilan tambahan untuk menopang hidupnya.

PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang Keanggotaan PNS dalam Partai Politik, disebutkan bahwa setiap pegawai negeri tidak saja harus melepaskan keanggotaannya pada partai politik tetapi juga dituntut bertindak netral terhadap partai politik dalam pelaksanaan pemilihan umum.


B. Dokumen
Naskah Deklarasi FGII
Keputusan Kongres FGII Nomor 001/ Kongres 1/FGII/2002
Foto-foto Deklarasi FGII
Foto Aksi Demonstrasi FGII
Kongres XIII PGRI tahun 1973 dan konferensi pusat PGRI tahun 1975.


C. Buku
Albrow, Martin, terj.M Rusli Karim dan Totok Daryanto, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989

Amnur, Ali Muhdi (Penyunting), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: PustakaFahima, 2007

Aspinall, Edward, Herbert Feith, Gerry Van Klinken, Titik Tolak Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto, Yogyakarta: LKiS, 2000

Budiman, Arief dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi, Jakarta:ISAI, 2001

Budi Santoso, Priyo. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993

Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: LKis, 2007

Gottschalk, Louis, Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1995

Hans-Dieters Evers dan Tilman Schiel, terj Aan Effendi, Kelompok-Kelompok Strategis, ,Jakarta:yayasan Obor Indonesia, 1990

Iman subondo, Nur, Taktik Negara Mnguasai Rakyat, Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme, Yogyakarta:LAPPERA PUSTAKA UTAMA, 2003

Irawan, Ade, dkk, Wajah Buruk Pendidikan Dasar, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2006

J.A, Denny, Jatuhnya Soeharto Dan Transisi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2006

Jalal, Fasli, Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daraeh, Yogyakarta:Adicita Karya Nusa,2001

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2005

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1998

Mutrofin. Otokritik Pendidikan: Gagasan-Gagasan Evaluatif, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2007

Nasution, A.H, Memenuhi Pangilan Tugas Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru, Jakarta: CV Masagung, 1989

Railon, Francis, Politik dan Ideologi mahasiswa Indonesia: pembentukan dan konsolidasi Orde Baru, 1966-1974, Jakarta: LP3ES, 1985

Ridho, Irsyad (editor), Pendidikan, Proyek Peradaban Yang Terbengkalai, Jakarta: Transbook, 2006

Uhlin, Anders. Oposisi Berserak, Bandung: Mizan, 1998

Pradipto, Dedy, Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional, (Yogyakarta:Kanisius, 2007),

Prasetyo, Eko, Guru:Mendidik Itu Melawan, (Yogyakarta: Resist Book, 2006),

Rachman, Fadjroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Depok: Koekoesan, 2007

Robert, Robertus, Dari Transisi Ke Kontingensi: Hak Asasi Manusia di Era Pasca-Soeharto. Dalam Dignitas. Volume III No I tahun 2005.

Rozi, Syafuan, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak, Jakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI, 2006

Sirozi, M, Politik pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada, 2005

Susetyo, Benny, Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta: LkiS, 2005

Sukarno, Makmuri, Kebijakan Kebudayaan Di Masa Orde Baru. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI dan The Ford Foundation, 2001

Saefulloh Fattah, Eep, Masalah dan prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994

Soeganda Poerbakawatja, Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970

Slamet I, Rusli Yunus, Sejarah Ringkas PGRI, Jakarta: YPLP PGRI, 1985

Shobirin Nadj (pengantar), Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Masalah Integrasi Nasional, Jakarta: LP3ES: 2003

Tamin, Feisal, Reformasi Birokrasi, Jakarta: Belantika, 2004

Tilaar, H.A.R. Manajeman Pendidikan Nasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001

Tilaar, H.A.R, Pendidikan kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia, strategi reformasi pendidikan nasional. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.2002

Tilaar, H.A.R, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo, 1995

Uhlin, Anders Oposisi Berserak, Bandung: Mizan, 1998


D. Skripsi
Skripsi Eni Sulistiawati, PGRI tahun 1962-1966 Studi Historis Mengenai Perpecahan di Tubuh PGRI, Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Sejarah: Universitas Negeri Jakarta, 2002

Skripsi Lala Siti Sahara, PGRI Pada Masa Orde Baru (1966-1998), Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Sejarah: Universitas Negeri Jakarta 2004).




E. Artikel
Ignasius Ismanto. Korporatisme, Patrimonialisme Dan Internaionalisasi Capital, Dalam Analisis CSIS Vol 28 No. 1 1999
Jimly Asshiddiqie, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA, Jakarta, 19 Desember 2005.


F. Media Massa
KOMPAS, Rabu 1 Desember 1999
KOMPAS, 30 Maret 2000
KOMPAS, Sabtu, 7 Oktober 2000
Kompas, 25 Februari 2000
Kompas Senin, 26 November 2001
GALAMEDIA, kamis, 22 November 2001
Didaktika/edisi No.32/2006
Bujet, Edisi 07/III/Oktober-Nopember, 2005
Media Indonesia, 23 Maret 2000.
Media Indonsia, 1 Mei 2000
Media Indonesia, jumat, 14 April 2000
Media Indonesia, Senin, 1 Mei 2000
Media Indonesia, 28 Februari 2000
Harian Jakarta, 27 Januari 2000
Harian Terbit, 23 Maret 2000
Republika. Rabu, 28 November 2001
Rakyat Merdeka, 27 Januari 2000
Rakyat Merdeka, 25 Februari 2000
Suara Pembaruan, 26 Februari 2000
Suara Pembaruan, 24 Maret 2000
Transformasi edisi 38/juli 2005
Republika, 23 Maret 2000
The Jakarta Post, edisi 16 Maret 2001


G. Sumber Wawancara
Amin Hamzah, 16 Maret 2008 di Kebon Jeruk-Jakarta.
Suparman Januari, Februari 2008. wisma kodel kuningan. Jakarta.
Supriyono di Taman Monumen Nasional Jakarta.
Sony Sumarsono.
H.A.R Tilaar.
Utomo Dananjaya.
Loddy G Paat.

1 komentar: